Synchronize Fest 2023 telah sukses digelar di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat pada akhir pekan 1, 2, dan 3 September 2023. Dengan lebih dari seratus penampil di enam panggung, juga berbagai sudut dan booth di mana tersedia berbagai kegiatan menarik untuk mengekspresikan diri, puluhan ribu pengunjung menikmati tiga hari tiga malam penuh hiburan di area tersebut.
Para pecinta musik yang ingin menonton kebolehan para artis dari berbagai aliran, juga para pencari lantai dansa—dari yang ingin goyang dangdut, joget funkot, atau dansa city pop, semua punya tempatnya.

Puncak keramaian terpantau terjadi pada malam Day 2. Pukul setengah 8 malam, semua panggung menyala dan disesaki penonton yang joget, berdansa, crowd surf, atau bergoyang dengan caranya masing-masing seiring dengan genre yang sedang dibawakan. Di panggung terbesar, Dynamic Stage, ada konser tribut untuk musisi rock legendaris Godbless yang melibatkan musisi-musisi papan atas seperti Barasuara, Kelompok Penerbang Roket, Scaller, dan Isyana Sarasvati. Di panggung indoor yang dirancang menjadi panggung penuh keringat untuk musik bawah tanah dan arus pinggir, ada Fuzzy I. Band rock Cokelat meramaikan panggung District Stage, sedangkan di panggung sebelahnya, Lake Stage, ada Kahitna. Doel Sumbang juga bermain di Forest Stage, sementara band indie pop Santamonica menghangatkan panggung putar XYZ stage. Tak mau kalah, DJ booth Oleng Upuk di Record Market disesaki para party goers yang berjoget diiringi Deejay Gantung, bersinggungan dengan silent DJ yang bermain di booth Guiness. Misteriusnya, di suatu pojok bernama “Salon+Karaoke” di ujung Record Market, terlihat kerumunan orang juga berdesakan sambil berjoget dalam ruangan yang dikepuli kabut dry ice di bawah lampu temaram bercahaya hijau tosca. Sementara di dekat pintu masuk, Rururadio dan teman-temannya bersenang-senang sendiri dengan berkaraoke sambil berdansa, mengabaikan sekitarnya. Adegan-adegan yang menyulut terlalu banyak stimulus ke semua panca indra ini sepertinya terlalu ampuh menjadi eskapisme bagi para pengunjung—yang sekilas terlihat kebanyakan terdiri dari para muda dewasa, yang sedang sibuk-sibuknya dihajar dunia kerja.

Keramaian dan keriuhan festival membuat Ananda Badudu, yang tampil bersama Monita Tahalea pada Day 3 di Forest Stage, merasa lebih menikmati menjadi penonton daripada menjadi pemain.
“Kalau boleh jujur kalau festivalan aku lebih suka nonton karena dalam sekali melangkah bisa nonton banyak band sekaligus, terus nontonnya juga laidback, sambil jalan-jalan, sambil liat-liat, sambil makan, sambil ngebir, jadi enjoy,” ujarnya kepada Volix. “Kalau main, agak susah mau sambil nonton karena pasti di hari kita manggung akan riweuh dengan check sound, persiapan manggung, ngurusin alat, mengatasi grogi, dll. Jadi kalau main udah pasti sulit nonton jadi kelewat banyak band, deh. Kan sedih yah.”
“Kalau harus milih sih aku pilihnya nonton, tapi kalau boleh dua dua nya alias nonton sambil kerja aku pilih main siang atau sore hari jadi sisanya tinggal nonton, hehehe.”
Nanda mengatakan ia menonton beberapa band yang punya rilisan baru seperti Isyana Sarasvati, Nadin Amizah, dan Zoo yang punya format baru, juga Tigapagi yang telah lama tidak manggung, juga Murakat yang belum pernah ia tonton live-nya. Ia juga menyempatkan menonton konser Mesin Waktu 2.0, sebuah tribut untuk Naif.
“Lagu-lagu Naif memang ternyata semembekas itu. Nempel tanpa perlu dihafal, karena menemani perjalanan hidup dari bocil sampai dewasa,” ujarnya.
Bhinneka Tunggal Musik

Sejatinya, pertunjukan musik lokal adalah tulang punggung Synchronize Fest. Festival tahun ini diwarnai penampil lintas aliran dan lintas zaman dari seluruh tanah air. Hal ini yang mendasari semangat tagline Synchronize Fest kali ini, Bhinneka Tunggal Musik.
“Kalau kamu punya apresiasi lebih dengan musik lokal, hadir menikmati musik-musik di Synchronize Fest adalah sebuah kenyamanan,” ujar vokalis Seringai, Arian Arifin, kepada Volix. Seringai, yang sudah aktif sejak 2002, mempersembahkan sebuah secret gig di panggung kecil Gigs Stage pada sore hari Day 1. Pertunjukan yang mengejutkan itu langsung disesaki para penggemar yang tidak menyangka akan bisa menonton idolanya langsung di arena yang begitu intim. Hal ini amat jarang terjadi karena kini Seringai jauh lebih sering pentas di panggung besar dengan kekuatan ratusan ribu watt.
Selain bermain dengan Seringai, Arian juga terlibat dalam pertunjukan perayaan 50 Tahun Godbless. Ia memberikan testimoninya sebagai penggemar Godbless sebelum Barasuara memainkan “Musisi”, salah satu lagu Godbless paling populer.
“[Selain itu gue seneng karena] bertemu dan hang out bersama teman-teman yang lama tidak bertemu juga sih. Selain menonton band-band yang ingin dilihat, entah band lama atau band baru. Tapi seringnya band baru sih,” ujar Arian. Ia menikmati menonton band hardcore punk Total Jerks dan band shoegaze Enola di Gigs Stage.
Reuni bersama teman-teman komunitas yang jarang bertemu di keseharian memang menjadi salah satu kegiatan yang terjadi di Synchronize Fest. “Reuni skena lah istilahnya,” ujar Yudhistira Agato, pemain gitar Jirapah, yang bermain di Gigs Stage pada Day 1.
Yudhis mengaku amat senang dan terharu karena Jirapah disambut hangat oleh penonton yang ikut bernyanyi, terutama lagu-lagu dari album Planetarium.
“Dulu tahun 2019 gue pernah main di gig stage bareng Vague, jadi gue udah tau what to expect lah. Gig stage pasti sweaty, panas, intim tapi energi penonton kerasa soalnya jaraknya super dekat. Kemaren pas set Jirapah lumayan terharu karena banyak yang nyanyi, padahal lagu-lagunya udah beberapa tahun umurnya.”
“Synchronize dari pengalaman gue selalu seru dan fun, dan lumayan oke buat bisa nonton berbagai acts dari berbagai style dan era. Mau musik party ada, mau musik folk sendu ada, mau metal ada, hardcore ada, pop ada. Mau mabok dan duduk di lantai aja, ya bisa juga.”
Ia menikmati suprise set dari Seringai, ZIP, Kuntari, dan Hong!, lalu mendapatkan pengalaman baru menonton Weird Genius dan Rhoma Irama, yang bukan merupakan musik yang biasa ia dengarkan.
Terpapar musik baru menjadi salah satu bonus di Synchronize Fest. Anggi, pemilik thrift store Konkubin di Pasar Santa yang menjadi salah satu tenant Creative Market, mengatakan bahwa ia mendapatkan kesempatan untuk menonton dan menikmati The Sigit untuk pertama kalinya.
“Saya gak pernah tertarik denger The Sigit. Tapi kemarin nggak sengaja lewat dan nonton. Dan cukup terkejut [sama kerennya The Sigit]. Ini bukan yang pertama kali saya lihat mereka manggung, tapi baru kali ini nemu ‘sela’ kerennya mereka,” ujarnya, sembari mengatakan ia akan mulai mendengarkan The Sigit setelah ini. Ia juga dikejutkan serunya menonton grup musik dari Medan, Lebah Begantong, yang menampilkan gaya Melayu secara live.

Dengan enam panggung dan ratusan penampil, banyak pemilik label rekaman yang mencari bakat-bakat baru untuk dirilis.
Hamima, pemilik label rekaman Gerhana Records dari Singapura, jauh-jauh datang ke Jakarta untuk menonton musisi Indonesia baru atau yang sedang naik daun. Labelnya memang berfokus pada musik dari Nusantara, dan ia telah merilis dua artis Indonesia, Syifasativa dari Purbalingga dan TOD dari Makassar. Kebetulan, TOD manggung di Day 2 di Forest Stage. “Ini kali pertama saya nonton mereka live,” ujarnya senang.

Hamima datang ke Jakarta dengan suaminya, Zafran, yang juga memiliki label rekaman sendiri, 4490 Records, juga toko musik Surface Noise Recs. Menurut Zafran, di Singapura band-band Indonesia seperti Noah dan Ungu sangat terkenal karena lagu-lagunya diputar di radio nasional. Namun, jarang ada yang tahu soal band-band arus pinggir indonesia.
“Saya harus banyak mencari tahu tentang band-band ini di skena alternatif dan menonton pertunjukan live-nya di festival-festival seperti Synchronize Fest,” ujarnya. Ini adalah kali kedua Hamima dan Zafran datang ke Synchronize Fest. Mereka mengatakan akan datang lagi tahun depan.
Saiful Haq dari Grieve Records mengaku senang karena bisa menonton banyak band seperti Crayola Eyes, Jirapah, Santamonica, Tarrkam, Majelis Lidah Berduri, Zoo, dan Fariz RM.
“Paling berkesan nonton secret show-nya Seringai di Gigs Stage, bikin kita jadi teringat masa-masa Seringai main di Park, venue kecil di kawasan Blok M,” ujarnya. “Tapi Fariz RM di District Stage jadi band yang paling saya tunggu.”
Anida Bajumi, pemilik label rekaman Ordo Nocturno, datang untuk mendukung band asal Medan, Pullo, yang menjadi roster labelnya. Selain itu, ia menantikan pertunjukan dari Pee Wee Gaskins dan Tarrkam.
“Pee Wee Gaskins, soalnya mereka bawain set The Sophomore sekalian merayakan ulang tahun ke 17. Biar berasa SMA lagi,” ujarnya. “Selain itu nungguin Tarrkam banget karena mereka akhirnya manggung setelah sekian lama.”

Sementara itu, Acip, seniman yang mangkal di Rururadio untuk mengampu lokakarya sablon, mengaku senang menonton Iwan Fals X Sawung Jabo, Jirapah, Kuntari, Zoo, The Paps, Santamonica, dan konser Mesin Waktu 2.0 Teman-teman Menyanyikan Lagu Naif.
“Suka banget sama konsep kolaborasi dan perayaan milestone musisi-musisi penampilnya,” ujarnya. “Gak nyangka Synchro masih serame ini. Tapi memang yang ngebedain [dari festival lain] adalah kesadaran panitia buat menyediakan air minum dan charger serta banyak variasi makanan. Mungkin ke depannya bisa lebih mengantisipasi copet. Misalnya dengan menyediakan merch semacam lanyard tapi bisa buat hape dsb atau apalah inovasinya.”
Persoalan copet memang menjadi salah satu PR besar Synchronize Fest. Nana Deyn, seorang penonton dari Malaysia, harus kerepotan karena suaminya, Pdoih, kehilangan handphone di Gigs Stage. Namun dia tetap menikmati akhir pekan tersebut.
“Sulit sekali mendapatkan pengalaman festival musik yang line-up nya lokal semua seperti ini di Kuala Lumpur,” ujarnya. Ia mengatakan band-band Indonesia seperti Naif, Hindia, Cokelat, dan The Sigit sangat digemari di Malaysia.
Rato Tangela, seniman yang tinggal di Jakarta, menyempatkan diri berkencan dengan istrinya ke untuk menikmati Day 2 Synchronize Fest.
“Tahun ini berkesempatan nonton Synchro cuma satu hari karena ninggalin dua anak kami yang masih bayi. Maklum, bapak ibuk baru,” ujarnya. Rato dan istrinya menikmati musik dari berbagai penampil, bertemu banyak teman, menikmati makan di Warpopski—seperti saat dulu mereka menikmati festival ini sebagai muda-mudi yang berpacaran.
“Tujuan utamanya ke Synchro mau ngerasain keseruan dari festival ini lagi. Biasanya kalo nonton band yang disuka bakal ketemu temen-temen lama yang bawa temen baru eh jadi kenalan baru,” ujarnya.
Para pekerja media yang melaporkan jalannya acara juga terlihat menikmati festival. Farras, seorang jurnalis, mengaku ia menikmati tugasnya karena ia sendiri juga penggemar musik dan sempat aktif main band.
“Di Synchro bisa nonton band-band yang udah lama ga manggung, sekalian ketemu dan nongkrong lagi sama teman-teman lintas kota,” ujarnya. Ia mengatakan paling menantikan aksi dari Jirapah, Zeke & the Popo, Santamonica, dan konser Mesin Waktu 2.0: Teman-Teman Menyanyikan Lagu Naif.
“Menyenangkan, meskipun cukup melelahkan. Mungkin di tahun depan bisa mempertimbangkan opsi untuk sedikit menaikkan harga tiket, agar seluruh pengalaman hadir di festival bisa menjadi lebih maksimal,” ujarnya.
Akan tetapi Faris, seorang pekerja media lain yang menghadiri Day 2 dan Day 3, tidak terlalu terkesan.
“Nggak yang spesial gimana-gimana ya… Emang Sinkro jadi acara rutin tahunan aja dan menjadi pilihan aman untuk alokasi anggaran party tahunan,” ujarnya. “Mostly artis langganan juga yang main di festival-gestival lain juga. Kemarin yang rada beda cuma Sherina aja sih. Tapi yaudah, emang main aman aja nyuapin hasrat nostalgia doang gitu.”
Faris mengkritik bahwa band-band luar Jawa tidak dipromosikan segencar band-band ibukota.
“Kalo cuma asal undang tapi gak dikasih platform lebih ya tetep kalah ama band jawa dong,” ujarnya. “Tapi ya kayaknya emang ini festival minim agenda aja sih.”

All pictures are courtesy of Synchronize Festival.
