Perkembangan teknologi AI yang pesat di Cina telah mencapai titik di mana masyarakat mampu memanfaatkannya untuk menghidupkan kembali mereka yang telah tiada. Salah satu contohnya yaitu dengan menciptakan suatu avatar digital yang menyerupai orang-orang tersebut.
Seakoo Wu dan istrinya berupaya untuk menciptakan replika digital anaknya yang sudah tiada, Xuanmo, untuk mengobati rasa rindu yang telah mereka rasakan sejak ditinggal sang buah hati. Avatar tersebut diciptakan sedemikian rupa agar terlihat realistis, mulai dari berbicara hingga berkelakuan layaknya Xuanmo saat masih hidup.
Untuk itu, Wu telah mengumpulkan koleksi foto, video, dan rekaman audio putranya untuk kemudian digunakan sebagai bahan-bahan referensi pembuatan avatar digital. Ia meminta bantuan sebuah perusahaan AI yang mampu mengkloning penampilan dan suara Xuanmo, mengintegrasikannya dengan dunia metaverse dengan harapan menyambung realitas dan ranah vitual tersebut untuk berhubungan dengan Xuanmo. Meskipun Hasilnya belum sempurna, namun mereka tetap berupaya keras untuk menyempurnakan avatar tersebut hingga akhirnya dapat meniru segala ucapan dan pola pikir Xuanmo dengan akurat.
Super Brain, salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang ini, mematok harga antara 10.000 dan 20.000 Yuan (setara dengan Rp22-44 juta) untuk membuat avatar virtual sederhana hanya dalam 20 hari. Mereka menawarkan jasa yang mampu “menyambung tali silaturahmi” keluarga yang sebelumnya tidak dapat dilakukan menggunakan bantuan AI.
Tal Morse, seorang peneliti asal Inggris yang bekerja untuk Centre for Death and Society Universitas Bath, menjuluki pemanfaatan teknologi AI ini sebagai “bot hantu.” Menurutnya, hal tersebut mampu menawarkan rasa nyaman bagi warga yang merasa kehilangan atas kepergian kerabat atau kawannya. Namun, ia menggarisbawahi bahwa teknologi tersebut masih harus diteliti lebih lanjut untuk memperoleh gambaran lebih luas mengenai implikasi psikologis dan etisnya terhadap masyarakat.