Latif Fajrin baru saja 4 tahun mendalami bidang seni digital sebagai seorang 3D artist, namun dirinya tidak pernah menyangka akan mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama dengan makeup stylist peraih penghargaan Oscars hanya dalam kurun waktu tersebut.
Volix berkesempatan untuk mewawancarai Latif Fajrin, seorang 3D artist freelancer yang berdomisili di Medan, pada Kamis, 25 April 2024.
Dalam sesi wawancara tersebut, Latif berbagi kisah perjalanan karirnya hingga membuka gerbang untuk berkolaborasi bersama David Malinowski, seorang make-up stylist asal Inggris yang meraih Oscars pada 2017 untuk usahanya mengubah aktor kondang Gary Oldman menjadi Winston Churchill semirip mungkin dalam film “Darkest Hour.”
Latar Belakang
Di usia kepala tiga, Latif baru saja mendapatkan inspirasi untuk mempelajari seni digital saat pandemi masih merajalela, tepatnya pada 2020.
“Mulai belajar 3D itu sekitar empat tahun yang lalu. Waktu itu sebenarnya di awal-awal pandemi. Mulai tertarik 3D aku baru tahu kalo ternyata ada banyak iklan, foto, ataupun video di Indonesia itu yang udah pake aset 3D,” jelas Latif.
“Padahal sebelumnya, aset 3D atau CGI effect itu kan dipakainya di Hollywood, jadi aku mikirnya selevel CGI ini hanya bisa dipakai di Hollywood, kayak film Avengers, dan lain-lain. Ada perasaan inferior, mungkin di Indo masih jauh. Tapi ternyata aset 3D itu udah banyak dipakai untuk iklan, foto, dan video. Kreatornya orang indo.”
Sejak saat itu, Latif semakin penasaran dan mulai mencari tahu seputar bidang 3D artistry. Dirinya yang saat itu sedang bekerja sebagai seorang fotografer freelancer memang sudah memiliki ketertarikan dengan profesi yang fokus di segi visual. Hal tersebut meringankan usahanya untuk menggali lebih dalam tentang 3D artistry.
Walaupun tidak pernah mendalami ilmu seputar seni desain visual secanggih 3D artistry sebelumnya, Latif tetap giat mencari alternatif-alternatif agar dapat memiliki kesempatan dalam bidang tersebut. Ia mulai mempelajari video-video tutorial di YouTube secara otodidak, cara merancang dan membuat aset-aset 3D sederhana yang dapat ia jual secara online.
Kemudian, ia mulai mencoba mengambil kursus untuk menggali materi-materi tambahan. Dari situlah kemampuannya merancang model-model 3D semakin berkembang hingga akhirnya ia mampu menjual beberapa karyanya di situs-situs jual beli aset online. Tahun-tahun pertama tersebut ia habiskan mengasah ilmunya lebih dalam yang awalnya bermula dari rasa penasaran Latif.
“Aku makin semangat lagi. Akhirnya terus menerus berkembang sampai aku spesifik tertarik ke karakter. Belajar bikin karakter,” ujar Latif.
Salah satu inspirasi terbesar Latif dalam menggeluti bidang permodelan karakter 3D tak lain dan tak bukan adalah sosok Hadi Karimi, seorang 3D artist kondang asal Iran yang telah berkarir dan menjadi ahli di bidangnya selama kurang lebih 14 tahun dan menghasilkan berbagai karya yang diakui dunia.
“Ada salah satu 3D artist, namanya Hadi Karimi. (Hadi) ini termasuk master-nya lah, yang jadi panutan banyak 3D artist. Dia bisa bikin Kurt Cobain, yang aku pikir foto, tapi ternyata itu 3D setelah aku putar modelnya 360 derajat.”
Terinspirasi dari karya-karya Karimi terutama model Kurt Cobain buatannya, Latif menjadi semakin tertarik untuk menekuni character modelling dalam 3D. Salah satu model awal yang ia buat yaitu berdasarkan penampilan fisik Maria, istrinya sendiri, yang dengan senang hati berpartisipasi dalam proyek Latif.
Seiring berjalannya waktu, Latif mulai memperdalam ilmunya dalam character modelling. Ia mulai mempelajari cara merangkai model wajah sedetil mungkin, hingga ke serat-serat rambut. Alhasil, karya-karyanya mulai dilirik melalui media sosialnya.
Ia mendapatkan tawaran kerja dari berbagai perusahaan, bahkan tak sedikit klien dari luar negeri yang membutuhkan pelayanannya. Hingga pada akhirnya, momen yang ia tidak pernah sangka pun datang.
Kolaborasi dengan David Malinowsky
Setelah 3-4 tahun berkarya dan bekerja sama dengan klien-klien dari berbagai latar belakang, hasil model Ariel Noah buatan Latif di Instagram-nya mencuri perhatian David Malinowski yang kemudian mencoba untuk menghubunginya lewat DM untuk kerja sama.
Awalnya, Latif tidak percaya begitu saja, namun setelah mencaritahu lebih lanjut akhirnya ia dapat memastikan bahwa orang tersebut memang merupakan David si peraih penghargaan Oscars sesungguhnya.
“Aku ga terlalu percaya awalnya, bener ga. Tiba-tiba, dua minggu atau satu bulan kemudian, dia DM. Aku ada aset 3D mau dia gunakan untuk (kursus) Masterclass. Setelah waktu itu via e-mail, ternyata asli ternyata itu David Malinowski peraih Oscars untuk film Darkest Hour, salah satu film kesukaanku juga,” ungkap Latif.
“Waktu itu belum ada kerja sama. Dia (Malinowski) masih nanya: kamu mau ga bantu aku untuk resculpt model untuk dipakai di kursus Masterclass-ku.”
Latif tidak menunggu lama untuk memulai kolaborasi dengan David. Keduanya segera bekerja dalam satu proyek dan merancang desain-desain karakter bersama. Latif umumnya mengurus bagian digital modelling dan ia tempuh seserius mungkin mengingat seberapa jelinya David beserta timnya dalam hal detail.
Ia memastikan agar semua detail kulit, dari pori-pori hingga kerutan tertipis, dapat tergambarkan dengan akurat. Setelah ia selesai dengan perancangan model, ia kirimkan hasilnya kepada tim David untuk kemudian dicetak menggunakan printer 3D.
Berdasarkan pengalamannya bekerja dengan David, Latif mengaku bahwa berkolaborasi dengan sosok peraih Oscars ternyata tidak setegang yang orang-orang mungkin pikir. Justru ia merasa santai dan nyaman selama bekerja secara daring bersama David yang sekarang sedang menetap di Inggris. Mereka berkomunikasi lewat WA dan dapat saling bertukar ilmu dan ide dengan baik tanpa adanya banyak gangguan. David sendiri juga memberi kebebasan kepada Latif secukupnya untuk berkarya sesuai kemauan hatinya.
Hasil-hasil buatan Latif kemudian dibagikan oleh David melalui Instagram miliknya di @djmalinowsky dan hal tersebut membuka kesempatan lebih luas bagi Latif untuk bekerja bersama klien-klien luar negeri lainnya.
Secara keseluruhan, memang bukan sesuatu yang ia duga, namun secara bersamaan ia juga menginginkan hal tersebut untuk terjadi karena ia sudah menetapkan goals-nya sendiri untuk kerjanya. Pada akhirnya, usaha Latif untuk berkarya dalam 3D artistry terbayarkan sudah setelah kolaborasi dengan David Malinowsky.
Pesan dan Refleksi
Kolaborasi dengan seorang peraih Oscars bukan menjadi titik pemberhentian terakhir bagi Latif. Selanjutnya, ia ingin terus menaikkan standar kerjanya dan lebih mendalami ilmunya seputar 3D artistry. Masalah umur juga tidak menjadi hambatan baginya untuk terus belajar dan mempertajam skill yang dimilikinya, terutama dengan akses belajar yang melimpah di zaman modern.
Latif juga mengaku memiliki impian untuk membuka kursus sendiri di mana ia dapat membagikan ilmunya dengan orang-orang lain yang memiliki minat yang sama dengannya. Ia berharap ke depannya agar dengan berbagi ilmunya, industri kreatif digital di Indonesia dapat lebih bersatu dan berkembang hingga mencapai standar internasional.
“Harapan aku, kesempatan belajar itu bisa kapan saja. Tapi aku juga berharap bahwa komunitas 3D di Indonesia bisa lebih solid dan punya akademi sendiri yang spesifiknya di visual effect industry. Bukan hanya 3D tapi juga animasinya, 2D juga,” jelas Latif.
Perjalanan karir Latif bisa dibilang belum terlalu lama, namun dengan upaya dan kemauan keras dirinya akhirnya mampu mencapai sesuatu yang tidak pernah ia duga sebelumnya hanya dalam waktu singkat. Pesannya mengenai kondisi industri kreatif digital tanah air juga merupakan sesuatu yang perlu digarisbawahi karena dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong perkembangannya ke depan.
Untuk melihat karya-karya Latif Fajrin selengkapnya dan memberi dukungan lebih lanjut, silakan kunjungi @latif_fajrin di Instagram.
Model 3D Aktor Pedro Pascal oleh Latif.