“Kita nggak boleh takut sama penyakit. Karena kalau kita takut ketularan penyakit kita bisa malah terkurung di dalam ruangan sendirian seumur hidup,” ujar Erlend Øye, salah satu dari duo Kings of Convenience.
Erlend dan rekannya, Eirik Glambek Bøe, duduk untuk berbincang sejenak bersama Volix pada Minggu pagi (3/3) di Bali. Malam sebelumnya mereka baru saja mempersembahkan pertunjukan kepada para penggemarnya di gelaran Joyland Bali. Keduanya mengaku antusias kembali keliling dunia untuk tour setelah krisis COVID-19. Kings of Convenience merilis album penuh keempat mereka, Peace or Love, di tahun 2021 saat dunia masih berada di puncak pandemi. Kini mereka berkesempatan untuk membawakan lagu-lagu dalam album tersebut di arena-arena konser di pelosok bumi.
“Seluruh dunia masih berjuang untuk kembali ke keadaannya semula. Kita juga come back,” ujar Erlend.
“Kita memainkan lebih banyak konser di dua tahun belakangan,” sambung Eirik. Ia menambahkan sementara di Bali mereka ingin rekaman di studio lokal. “Tapi saya harus benerin gitar dulu. Gitar saya rusak kemarin waktu manggung. Dan hari ini dia nggak mau nyala.”
Memang, gitar Eirik mendadak ngadat di tengah show kemarin ketika mereka baru mau mulai memainkan “Boat Behind”.
Erlend, sebaliknya, terlihat lebih santai. Setelah menyelesaikan shownya kemarin, Erlend terlihat berjalan-jalan di area festival di Peninsula Island, Nusa Dua. Ia bahkan ikut joget di area khusus musik niche di Lily Pad Stage, lalu tiba-tiba muncul di sudut karaoke di 21 Monkeys —area khusus merokok dan minuman beralkohol— dan memimpin hadirin menyanyikan lagu-lagu klasik ABBA.
“Saya have fun banget kemarin. Sayangnya saya tuh punya masalah telinga, jadi saya nggak bisa party lebih dari 45 menit,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa ia sangat menikmati penampilan Gilles Peterson, DJ asal Perancis, yang menjadi puncak acara di Joyland hari kedua.
Erlend dan Eirik mengaku selalu senang manggung di Indonesia.
“Kami suka sing along [yang dilakukan para audiens Indonesia]. Banyak orang tahu lagu kami dan ikut nyanyi. Musik selalu terasa lebih menyenangkan ketika dibagikan,” ujar Eirik. “Saya tidak suka jadi satu-satunya orang yang menyanyi sementara yang lain membisu, mendengarkan. Lebih asyik kalau semua orang bernyanyi bersama.”
Erlend setuju, mengatakan bahwa Indonesia selalu spesial karena kebersamaan penontonnya.
“Ketika kami memulai band ini kami punya impian bermain di depan penonton yang sangat terhormat dan sangat tenang. Akan tetapi setelah 20 tahun ngeband, belum lama ini kami akhirnya bermain di depan penonton yang demikian. Mereka tidak ikut menyanyi dan mereka tidak bereaksi ketika musiknya menggetarkan. Jadi saya sekarang tidak lagi menginginkan penonton yang seperti itu,” ujarnya. “Saya sekarang hanya suka dengan audiens yang ingin menjadi bagian dari musik. And that’s why Indonesia is number one. It’s very special.”
Quiet is the New Loud
“Menurutmu, kenapa ya orang Indonesia suka Kings of Convenience?” Eirik bertanya.
Dia dan Erlend pun terbahak ketika diberitahu bahwa “Cayman Islands” menjadi lagu wajib yang dipelajari para gitaris di Indonesia. Akan tetapi, mereka juga terlihat terharu ketika diberi tahu bahwa musik mereka yang menenangkan menemani para mahasiswa lokal menyelesaikan tugas akhir.
Menariknya, Eirik dan Erlend tidak semerta-merta memutuskan untuk memainkan musik darah rendah ketika mereka mulai bermain bersama di dekade 90an. Proyek musik pertama keduanya, yang adalah teman sekolah di kota Bergen, Norwegia, adalah kuartet rock alternatif bernama Skog. Nama band itu adalah sebuah kata dari Bahasa Norwegia yang berarti “hutan”, karena mereka terinspirasi dari lagu “The Forest” milik band Inggris, The Cure.
Setelah mengeluarkan satu EP di tahun 1996, mereka harus bubar.
“Dua personel lainnya meninggalkan kami, jadi tinggal saya dan Erlend,” kenang Eirik. Akan tetapi, saat itu malah menjadi titik balik di mana keduanya memutuskan untuk mengubah konsep musik mereka dari band rock menjadi duo akustik.
Erlend mengatakan pengalamannya menonton band indie pop asal Skotlandia, Belle and Sebastian, di Inggris menjadi saat di mana ia sadar bahwa musik “sunyi” juga bisa menjadi bentuk karya yang menggugah.
“Saya tadinya tidak tertarik dengan band itu, tetapi pacar saya saat itu suka sekali sama Belle and Sebastian. Jadi saya nonton supaya bisa pamer ke dia ‘Aku nonton band yang kamu suka banget,’” tuturnya. “Tapi di lagu keempat… lagunya sama sekali nggak kencang… tapi ada sesuatu dalam lagu tersebut yang membuat saya ingin berdiri, dan rasanya sangat uplifting,” ujarnya. “Saya jadi sadar… musik tetap bisa amat powerful walau dengan hanya sedikit suara saja.”
Keduanya pertama kali tampil sebagai Kings of Convenience di penghujung dekade 90an. Di tahun 2001, mereka melemparkan debut album, Quiet is the New Loud. Album ini meledak di Eropa dan mendapatkan banyak pujian dari kritikus musik. Keduanya cukup sibuk di dekade 2000an, merilis album-album penting seperti Riot on an Empty Street di tahun 2004 dan Declaration of Dependence di tahun 2009.
Riot on an Empty Street terutama menempatkan nama mereka di peta musik dunia dengan video klip “I’d Rather Dance with You” yang sukses di tangga lagu MTV. Nomor-nomor lain di album itu seperti “Misread” dan “Homesick” juga kini dianggap menjadi lagu-lagu klasik mereka yang menyentuh banyak orang.
Kini, lebih dari 20 tahun kemudian, mereka masih bermusik berdua dan dalam perjalanan menyelesaikan tur Asia Pasifik. Mereka datang ke Bali setelah menyelesaikan empat tanggal di Australia. Setelah Bali, keduanya bertolak ke Kuala Lumpur, Shanghai, Guangzhou, Beijing, dan Ulaanbaatar.
—
Joyland Bali diselenggarakan oleh Plainsong pada 1-3 Maret 2024 di Peninsula Island, Nusa Dua, Bali. Selain membawakan Kings of Convenience, festival ini juga mendatangkan James Blake, The Walters, Vansire, dan masih banyak lagi. Joyland selanjutnya akan diselenggarakan di Jakarta pada November 2024.
All pictures are courtesy of Plainsong.