'}}
Khozy Rizal wakili Indonesia di Cannes Film Festival dengan Basri & Salma in a Never Ending Comedy
May 2, 2023

Film pendek Basri & Salma in a Never Ending Comedy besutan sutradara asal Makassar, Khozy Rizal, berhasil masuk kompetisi Cannes Film Festival 2023.

Menurut rilis resmi Cannes Film Festival, film ini termasuk di daftar 11 film pendek yang akan dipresentasikan tahun ini di Kompetisi Festival Film Cannes. Ia tersaring dari 4288 film lain dari seluruh dunia yang diajukan. Lebih bangganya lagi, film ini menjadi satu-satunya film Asia dalam daftar tersebut. Film-film lain yang terpilih berasal dari Argentina, Kolombia, Spanyol, Amerika Serikat, Perancis, Hungaria, Islandia, Norwegia, Polandia, Inggris, dan Ukraina. Jika memenangkan kompetisi, Khozy Rizal dan timnya bisa membawa pulang piala yang amat bergengsi, Short Film Palme d’or, ketika malam penutupan Festival de Cannes ke 76 di hari Sabtu, 27 Mei 2023.

Sebelumnya, Wregas Bhanuteja menjadi sutradara Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan di Cannes dengan film pendeknya, Prenjak (2016) yang mendapatkan Leica Cine Discovery Prize untuk film pendek. Selain itu, ada beberapa film Indonesia yang terpilih untuk ditanyangkan di festival bergengsi tersebut termasuk Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) karya Mouly Surya, Daun di Atas Bantal (1998) karya Garin Nugroho, Tjut Nja' Dhien (1988) karya Eros Djarot, dan lain-lain.

Dalam wawancara dengan Volix, Khozy Rizal mengaku amat gembira filmnya bisa masuk ke ajang ini mewakili Indonesia, bahkan Asia.

"Tentunya senang sekali karena ini merupakan sebuah sejarah," ujarnya. "Ini merupakan pencapaian kita yang paling tinggi sejauh ini. Kami juga sangat overwhelmed dengan respon positif dan dukungan yang luar biasa dari masyarakat Indonesia."

Odong-odong dan tema keluarga

Film pendek Basri & Salma In a Never Ending Comedy berbicara tentang pasangan tanpa anak yang menghabiskan hari-harinya menghibur anak orang lain dengan odong-odong. Ada banyak tema tentang keluarga yang diangkat, termasuk keputusan pasangan untuk memiliki anak.

Source Hore Pictures

Menurut Khozy, inspirasi cerita ini berangkat dari perenungannya sendiri tentang hal tersebut.

"Banyak rentetan peristiwa dalam hidupku yang membuatku menjadi bertanya-tanya untuk apa seorang anak dilahirkan kalau akhirnya tidak dibiarkan untuk bisa memilih menjadi apapun yang mereka mau, dan malah diharuskan untuk menjalani standar hidup yang sudah dibangun oleh generasi-generasi sebelumnya" ujarnya. "Mungkin seru kali ya ngobrolin soal anak dan keluarga saat ini di Indonesia tapi melalui karakter tukang odong-odong."

Odong-odong yang menjadi sarana hiburan keliling bagi anak kecil adalah pemandangan yang lazim di masyarakat. Namun, di mata Khozy odong-odong adalah benda yang amat semarak dan memberikan warna tersendiri bagi kota tempat tinggalnya di Makassar.

Pembuatan filmnya sendiri dimulai dari tercetusnya cerita di tahun 2021, sedangkan pra-produksi dan produksi dilakukan pada Juli dan Agustus 2022.

"Film ini diproduksi seluruhnya oleh kru dan pemain di kota Makassar yang sangat memiliki talenta dan kerja yang luar biasa sehingga segala proses berjalan begitu menyenangkan, sesuai rencana dan tanpa ada kecemasan sedikitpun," ujarnya, memuji teman-teman timnya.

Menurut Khozy, keberadaan mereka di Makassar tidak mematahkan semangat maupun memadamkan kreatifitas para sineasnya, walau kebanyakan diskusi soal sinema Indonesia masih amat Jawasentris.

"Memang banyak sekali keterbatasan yang mesti dihadapi ketika kita membuat film di Makassar karena sumber daya dan pekerja film disini cukup minim tapi selama teman-temanku yang sering aku ajak berkolaborasi bisa diajak syuting dan jadwalnya pas dengan syutinganku menurutku tidak akan menjadi masalah sih," ujarnya. "Keterbatasan alat juga kadang [malah menjadi] sebuah kemewahan dalam beberapa hal. Kamera atau pencahayaan yang seadanya kadang membuat film kita malah jadi lebih raw dan ternyata stylenya cocok dengan cerita yang kita buat. Keterbatasan itu malah membuat film-film produksi lokal menjadi khas dan punya look-nya tersendiri."

Ia juga menyebutkan beberapa sineas Indonesia Timur yang harus mendapatkan sorotan, seperti Aditya Ahmad, Sarah Adilah, Muhammad Heri Fadli, Alberto Maia.

"Kita punya banyak sekali talenta-talenta yang luar biasa dari region ini," ujarnya.

Selain senang karena filmmya mendapatkan pengakuan internasional, Khozy berharap film ini bisa bertemu penonton sebanyak mungkin di mana pun. Namun penonton tanah air harus bersabar karena kini Khozy dan timnya masih mempromosikan film ini ke luar negeri terlebih dahulu. Mereka berharap film ini bisa disaksikan di Indonesia pada akhir tahun ini lewat beberapa festival dan bioskop-bioskop alternatif. Ia juga mengapresiasi adanya beberapa layanan streaming yang terbuka untuk menayangkan film-film pendek.

"Ya memang film-film pendek tidak memiliki kesempatan untuk diputar di layar lebar seperti film panjang tetapi sejauh ini sudah mulai banyak platform layanan streaming yang terbuka dengan film-film pendek. Mungkin karena minat penonton film pendek sudah mulai bermunculan. Saya rasa ini adalah kemajuan untuk film pendek," pungkasnya.

Sebelumnya, Khozy Rizal telah dikenal dengan dua film pendek Makassar Is a City for Football Fans (2021) dan Ride to Nowhere (2022). Selain sibuk dengan promosi Basri & Salma in a Never-Ending Comedy, ia kini sedang merancang film pendek baru sembari mempersiapkan sebuah film panjang.



See other posts

'}}
Daftar Drama Korea Tayang Januari 2025
'}}
Daftar Harga Iphone Terbaru 2025, Turun Drastis!
'}}
Cara Membuat WhatsApp Centang Satu, Padahal Masih Online