Bulan April lalu, sosok Aeshnina Azzahra kembali menjadi sorotan media karena turut serta dalam konferensi lingkungan internasional INC-4 di Shaw Centre, Ottawa, Kanada. Aktivis lingkungan berusia 17 tahun tersebut menyampaikan pesan-pesan positifnya bersama rombongan aktivis lainnya dari berbagai pelosok dunia.
Uniknya kehadiran Aeshnina dalam acara ini adalah dirinya tidak perlu mendaftar atau mengajukan diri untuk bergabung dalam kegiatan tersebut. Berkat reputasi dan network yang ia miliki, ia mendapatkan undangan khusus dari organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO) di sana untuk terjun langsung ke Ottawa.
Volix berkesempatan untuk melakukan wawancara daring bersama Aeshnina Azzahra Aqilani, atau yang biasa dipanggil Nina, pada Selasa, 14 Mei 2024.
Dalam sesi tersebut, Nina membagikan pengalamannya lebih lanjut saat diundang ke INC-4. Ia juga kilas balik perjalanannya selama ini sebagai seorang pejuang lingkungan Indonesia yang sukses go international di usianya yang belum juga mencapai kepala dua.
Latar Belakang
Lahir di Sidoarjo pada tahun 2007, Nina dibesari oleh kedua orang tuanya di Gresik dan membawanya dekat dengan alam sekitarnya. Semasa kecil, Nina langganan menghabiskan waktu di luar bersama keluarganya, menikmati keindahan alam yang menumbuhkan rasa cintanya terhadap lingkungan.
“Dulu, kebiasaan dibawa ke sungai sama orang tua untuk penelitian. Itu bikin jadi healing soalnya mainnya ke sungai,” ungkap Nina.
“Yang diinget memori masih kecil sama keluarga ya pasti ke sungai, ke gunung, ke hutan mangrove. Itu yang bikin Nina enjoy, dari dulu kebiasaan menikmati alam. Tapi, sekarang kan sudah semakin tercemar dan semakin rusak, sungai-sungai sudah tidak bisa untuk berenang lagi, untuk mancing lagi kayak dulu. Langsung tergerak sih mas.”
Faktor utama yang menjadi pendorong terjunnya Nina ke dalam dunia aktivisme lingkungan tidak lain dan tidak bukan adalah kedua orangtuanya, pasangan aktivis lingkungan berpengalaman, Prigi Arisandi dan Daru Setyo Rini.
Mereka, terutama ayahnya, selalu menjadi pemantik yang menyalakan api di dalam jiwa Nina untuk terus semangat memperjuangkan lingkungan.
“Orang tua, terutama ayah saya, selalu ngingetin kalo sungai itu sumber kehidupan. Dulu orang sangat menghormati sungai, tempat yang sangat suci. Tapi sekarang jadi tempat sampah buat masyarakat, buat industri. Terutama Sungai Brantas yang masih menjadi sumber bahan baku air minum untuk lebih dari 5 juta orang di Surabaya di hilirnya. Tapi di hulu, di rumah saya, malah jadi tempat pabrik buang limbah ke sungai.”
Reaksi Nina terhadap keadaan pencemaran Sungai Brantas mendorongnya untuk bertindak. Tidak tanggung-tanggung, ia langsung menulis surat protes ke bupati saat masih duduk di bangku kelas 4 SD. Ia dibantu oleh kedua orang tuanya untuk menulis dan mengirimkannya ke pihak pemerintah setempat.
Perkembangan Nina sebagai seorang aktivis sangat didukung oleh orang tuanya yang selama ini membantu memfasilitasi kegiatan-kegiatannya. Seiring ia beranjak dewasa, ia diberi kebebasan untuk lebih banyak berinisiatif sendiri dalam kegiatan-kegiatannya namun tetap di bawah pengawasan orang tuanya.
Usia Bukan Alasan
Nina kini masih duduk di bangku kelas XI SMA Muhammadiyah 10 GKB Gresik dan mengaku sedang “cuti” dari kegiatan aktivismenya untuk fokus sekolah. Dirinya sedang giat belajar agar dapat naik ke kelas XII, namun pada titik ini ia sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan dari luar sekolah yang mengharuskannya untuk skip kelas.
Sebelum mencapai usia 16 tahun, Nina sudah terlibat dalam berbagai kegiatan aktivisme. Mulai dari kampanye-kampanye lingkungan hingga mendirikan serta mengepalai komunitas pejuang linkungannya sendiri yang bernama ‘River Warrior’ bersama teman-temannya.
Tak jarang, pengaruhnya juga mencapai lingkungan sekolahnya, sampai-sampai pihak pengelola sekolah berupaya untuk menerapkan kebijakan anti-plastik dengan dukungan Nina hingga sekarang. Aksinya tersebut mendapat dukungan oleh berbagai pihak terutama teman-temannya.
Selebihnya, aksi Nina menyurati pemerintah terkait masalah lingkungan tidak berhenti saat ia masih kelas 4 SD. Seiring waktu berjalan, ia melakukan hal yang sama dan ditujukan ke pihak-pihak yang jauh lebih berkuasa.
Contohnya saat ia melayangkan protes kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2019 terkait masalah pembuangan limbah negaranya ke Indonesia. Ia juga mengaku sempat menyurati ketiga pasangan calon presiden RI 2024 kemarin saat periode kampanye dan mendapatkan hasil yang berbeda-beda dari ketiganya.
“Saya emang kebiasaan dikasih buku diary dari kecil. Setiap hari nulis-nulis buku diary. Akhirnya kebiasaan dan kepikiran untuk nulis surat itu tadi,” ungkap Nina.
Faktor usia tidak menjadi penghalang bagi Nina untuk melakukan kegiatan-kegiatannya. Justru, hal tersebut ia manfaatkan dengan maksimal karena menjaga lingkungan memang membutuhkan waktu yang lama dan mindset yang pas. Ia berupaya untuk mengatasi masalah dari akarnya, dan dalam hal ini akar tersebut adalah mindset pemuda-pemuda.
Melebarkan Sayap
Aksi Nina terjun ke panggung dunia tentunya bukan sebuah pencapaian mudah. Ia harus melalui berbagai rintangan dan membangun reputasi selama bertahun-tahun agar mampu diakui oleh mata dunia, terutama mengingat usianya.
“Pasti ada tantangannya. Saya diundang ke INC kemaren itu kan bukan lewat pemerintah, tapi sekolah dan teman-teman saya masih banyak yang mikir saya diundang sebagai delegasi pemerintah Indonesia, padahal engga,” jelas Nina mengenai keterlibatannya dalam INC-4 di Ottawa.
“Saya diundang sama NGO, Break Free From Plastic sama GAIA (Global Alliance for Incinerator Alternatives). Mereka yang membiayai kita full sampai ke sana.”
Selebihnya, berbicara sebagai seorang observer di Plenary INC-4 juga tidak mudah untuk dilakukan. Nina harus menyetor sebuah script yang kemudian diseleksi oleh para staff INC. Akhirnya, ia pun terpilih untuk mengambil bagian dalam acara tersebut.
Sebelum diundang ke INC-4, Nina pertama kali merasakan berdiri di hadapan para petinggi dunia dan berdampingan dengan pejuang-pejuang lingkungan internasional lainnya dalam acara Plastic Health Summit 2021.
Dalam acara yang digelar di Amsterdam, Belanda tersebut, Nina mendapatkan kehormatan untuk menjadi salah satu speaker yang menyuarakan dukungannya terhadap pengurangan penggunaan produk-produk berbahan dasar plastik di dunia.
“Saya masih belum bisa move on, rasanya masih ketinggalan di situ (Amsterdam). Soalnya itu pertama kali saya ke Eropa dan ke luar negeri,” ungkap Nina.
“Saya suka banget dan nyaman sama orang-orang di luar Indonesia. Soalnya mereka orangnya sangat menghargai. Semua orang sevisi dengan saya dan tujuannya sama semua.”
Secara keseluruhan, kedua acara tersebut merupakan momen-momen yang paling dibanggakan oleh Nina sebagai seorang aktivis lingkungan sejauh ini. Ia dapat merasakan bagaimana berjuang bersama orang-orang lain yang sepemikiran dengannya walau datang dari latar belakang yang sangat berbeda.
Ia juga berterima kasih kepada peran media yang selama ini telah menyorot dirinya beserta kegiatan-kegiatannya hingga mampu melebarkan sayap ke panggung dunia, tentunya demi menyampaikan pesan-pesan positifnya dalam cakupan yang lebih luas.
Pesan dan Refleksi
Semua pencapaian Nina sebagai pejuang lingkungan selama ini tentunya merupakan hasil kerja keras dirinya sejak kecil, namun ia mengaku tidak akan mampu mencapai titik ini kalau bukan karena dukungan orang-orang sekitarnya.
Selain berkat orang tua dan kawan-kawannya, Nina menggarisbawahi peran media yang kerap kali mengangkat suatu topik hingga menjadi viral agar mampu dilirik oleh pihak-pihak berwenang setempat. Peran anak muda, terutama kalangan Gen Z yang melek sosial media, dapat berperan besar dalam mensosialisasikan aksi-aksi yang berdampak positif terhadap lingkungan.
“Buktinya Black Lives Matter dulu belum begitu viral tapi beneran bisa lewat hashtag, lewat cara online dan itu bener-bener keren banget. Dan itu belum pernah terjadi, cuman kejadian kali ini,” menurut Nina.
Berita-berita yang mengangkat kisah Nina selama ini alhasil membuatnya jadi sosok yang dikenal luas dan banyak menginspirasi terutama di dalam kalangan pemuda.
Perubahan positif di lingkungan diyakini banyak dimulai dari akarnya yakni di usia muda, dan Nina merupakan contoh yang menunjukkan bahwa akar tersebut dapat dibentuk sebaik mungkin. Pada akhirnya, ia berharap untuk dapat menjadi seorang role model yang mampu mengajak masyarakat untuk menatap ke depan dan berperan lebih aktif dalam menjaga lingkungan tanpa memandang usia.
“Kita semua sebagai manusia kan punya hak untuk menghirup udara yang bersih, hak untuk meminum air bersih. Itu kan hak dasar manusia, harus kita perjuangkan.”