Thailand telah mencetak sejarah sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Pada tanggal 27 Maret 2024, Parlemen Thailand mengesahkan undang-undang kesetaraan pernikahan dengan mayoritas suara yang signifikan, yaitu 399 dari 415 anggota yang hadir mendukungnya.
Undang-undang ini mengamandemen 68 ketentuan dalam Kode Sipil dan Komersial Thailand, menggantikan istilah "pria" dan "wanita" dalam pernikahan dengan istilah netral "dua individu." Selain itu, status hukum resmi dari "suami dan istri" diubah menjadi "pasangan menikah." Perubahan ini memastikan bahwa pasangan sesama jenis memiliki hak yang sama dengan pasangan heteroseksual, termasuk hak waris dan adopsi.
Langkah ini diambil setelah bertahun-tahun kampanye oleh komunitas LGBTQ+ dan pendukung hak asasi manusia di Thailand. Meskipun undang-undang ini masih memerlukan persetujuan dari Senat dan ratifikasi oleh Raja Maha Vajiralongkorn sebelum berlaku, dukungan yang kuat dari partai-partai besar Thailand membuat proses ini diperkirakan akan berjalan lancar. Jika disahkan, undang-undang ini akan berlaku 120 hari setelah mendapat tanda tangan dari raja, menjadikan Thailand negara ketiga di Asia yang mengakui pernikahan sesama jenis setelah Taiwan dan Nepal.
Langkah ini disambut dengan antusiasme oleh banyak pihak, termasuk Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, yang menyebut pengesahan ini sebagai kebanggaan masyarakat Thailand yang bergerak menuju kesetaraan dan penghormatan. Meski demikian, beberapa aktivis masih mengkritik karena undang-undang ini tidak menggunakan istilah netral seperti "orang tua" sebagai pengganti "ayah" dan "ibu," yang dapat mempengaruhi hak adopsi pasangan sesama jenis di masa depan.
Dengan pengesahan undang-undang ini, Thailand memperkuat posisinya sebagai salah satu negara paling liberal di Asia dalam hal hak-hak LGBTQ+, dan langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan serta menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil.