Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di industri kreatif belakangan menuai pro kontra. Hal ini tidak menyurutkan Franki Indrasmoro untuk mengembangkan Pemotor Misterius, sebuah seri novel grafis bergenre action yang digarap sepenuhnya dengan bantuan AI.
“Aku kan seniman juga. Jadi aku juga ga mau melanggar etika seniman. Sesama seniman jangan nyolong gaya orang,” ujar Franki, atau yang sering disapa Pepeng, kepada Volix dalam wawancara pada Jumat, 31 Maret 2023.
Pepeng mungkin lebih familiar sebagai drummer di band retro pop Naif, namun ia sebenarnya juga adalah seorang pekerja visual sekaligus komikus yang berapi-api. Kegiatan bermusiknya dengan Naif semasa band itu masih aktif tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap berkarya di bidang visual, terutama di komunitas komik.
Pepeng, yang merupakan lulusan Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta, mendirikan FrankKomik dan memulai Trilogi Komik Setan Jalanan di 2014. Trilogi ini bercerita tentang vigilante bertopeng yang berkeliling Jakarta mengendarai motor trail untuk menumpas kejahatan. Selain dalam bentuk 3 buku komik, Setan Jalanan juga muncul dalam bentuk berbagai spin off. Pepeng mengkode bahwa Trilogi Setan Jalanan juga akan segera dialih-mediakan sebagai serial TV yang akan tayang di sebuah platform streaming.
“Doakan aja semoga di tahun 2024 atau 2025,” ujarnya.
Komik Pemotor Misterius yang diterbitkan berkala lewat Instagram baru-baru ini juga merupakan perpanjangan tangan dari semesta Setan Jalanan. Uniknya, keseluruhan gambarnya dikerjakan dengan AI oleh seniman dan dosen IKJ, Dodi Triaviandi.
“Mas Dodi itu senior aku di IKJ. Dia fokus di desain grafis juga, dan sudah berteman lama sama aku. Dia adalah teman diskusi soal art dan grafis,” terang Pepeng. “Belakangan begitu ada teknologi AI aku sering lihat dia eksperimen dengan AI untuk membuat ilustrasi dia. Selain itu dia juga pakai sentuhan Photoshop.”
Sebagai pekerja visual, ia menyadari banyaknya kontra dari sesama seniman digital. Namun setelah diskusi panjang dengan Dodi, yang telah menyelami dunia ilustrasi via AI selama beberapa tahun, Pepeng yakin penggunaan AI dalam Pemotor Misterius tidak melanggar etik. Praktek ini malah bisa menjadi eksperimen yang berguna bagi pekerja seni lainnya. Ia mengaku menggunakan AI yang mempelajari input data yang berbayar, untuk menghindari pelanggaran hak cipta.
“Digital artist protes karena banyak karya mereka digunakan tanpa izin,” ujarnya. “Yang dianggap kasus seperti itu karena karena open source. Kalau platform AI Midjourney itu berbayar. Data yang di-utilize itu bukan yang dianggap kontra itu.”
Selain itu, Pemotor Misterius tidak berangkat dari ruang kosong. Ia telah punya portofolio panjang gaya ilustrasi Setan Jalanan yang bisa dipelajari oleh AI, untuk kemudian digunakan untuk membuat ilustrasi baru.
Pepeng yang juga bekerja sebagai storyboard artist ini juga merasa terobosan teknologi AI amat berguna dalam mengejar tenggat.
“Mereka (sesama storyboard artists) yang sudah pakai digital painting ngerasa cukup terbantu untuk mengejar deadline yang cukup ketat. Apalagi untuk membuat adegan-adegan dalam storyboard yang tadinya butuh waktu lama,” kata Pepeng.
Kecerdasan buatan sesungguhnya telah dikembangkan berdekade-dekade lalu. Sebagai sebuah disiplin ilmu, ia diakui untuk pertama kalinya di tahun 1956. Ketika dunia memasuki era internet, AI menjadi terobosan. Manusia telah menikmati kemudahan yang dihadirkan AI lewat berbagai perangkat seperti peramban dan mesin pencari (misalnya Google Search), sistem rekomendasi (digunakan oleh YouTube, Amazon, dan Netflix), serta pengolahan ucapan manusia (misalnya Siri dan Alexa). Belakangan, AI menjadi kontroversial ketika mulai merambah ke bidang kreatif seperti ChatGPT yang bisa “menulis sendiri” dan berbagai platform AI art yang bisa “menciptakan karya baru” setelah mempelajari berbagai gaya citra digital yang pernah diunggah ke internet.
“Kita kan hidup di dalam perkembangan. Segalanya yang berhubungan dengan teknologi dan seni pasti ada pro-kontranya,” komentar Pepeng. “Dari dulu di dunia seni rupa, gaya apa pun yang baru nongol pasti ada kontroversinya. AI ini nanti juga pasti tercatat sebagai salah satu aliran atau gaya dalam sejarah seni rupa.”
Iklim komunitas komik saat ini
Komik adalah media yang cukup unik untuk menyampaikan cerita. Selain harus punya kemampuan mengarang yang mumpuni, seorang comic artist harus bisa konsisten membuat karya visual yang ikonik. Pepeng, yang menjadi penggemar komik sejak dibelikan komik Snoopy dan Tintin oleh ayahnya di masa kecil, menyadari bahwa jalan menjadi seniman komik di Indonesia adalah jalan yang berliku—walau tetap potensial.
“Sangat berpotensi. Pembacanya pasti bakal ada. Cuma sayangnya industrinya belum mendukung,” ujarnya.
Menurt Pepeng, walau komik merupakan bacaan populer di Indonesia, jumlah penjualan komik masih kalah jauh dengan buku jenis lainnya.
“Berdasarkan riset kecil-kecilan yang pernah aku lakukan, ‘kue’ produk terbitan Indonesia itu market terbesarnya ada di buku agama, filsafat, self-help atau motivation, baru novel. Setelah itu baru komik. Itu kue yang kecil banget,” ujarnya. “Selain itu, komik di indonesia market terbesarnya ada di humor dan horor. Nah sayangnya aku suka komik yang bukan horor dan humor. Tapi drama dan action. Itu kuenya lebih kecil lagi.”
Menurutnya, untuk membangkitkan iklim komik di Indonesia harus ada banyak upaya kolektif.
“Harus ada kekuatan kolektif [...] harus saling mendukung. Gue berkarya, gue beli karya lo, dan sebaliknya,” ujarnya. “Bikin komik kan gak mudah. Effort-nya besar. Bikin sendiri, proof print sendiri, cetak sendiri. Kekuatan kolektif itu sangat diperlukan untuk meyakinkan industri yang lebih luas supaya mau invest di karya. Dukung karya temen, jangan cuma pengen didukung tapi ga mau dukung balik,” pungkasnya.